Kaulah Mataku
Desir angin terasa sejuk melewati sekujur tubuhku. Hawa damainya menyembunyikan kesemrawutan dunia di hadapanku. Di bawah rindangnya ringin ini, kupejamkan mata menikmaitnya, meski sebenarnya aku tak perlu lakukan itu. O iya, aku Anne. Usiaku baru 20 tahun. Aku kehilangan kedua orangtuaku, dan juga penglihatanku saat kecelakaan maut 4 tahun yang lalu. Sempat aku merasa sangat sedih dan tak berguna. Tapi Andi, orang yang kini ada di sampingku, selalu memberikanku semangat hidup. Dia adalah sahabat terbaikku, yang paling bisa mengerti keadaanku. Andi bekerja di sebuah pabrik tak jauh dari rumahnya. Biasanya, setelah pulang kerja, ia selalu mampir ke warung tempatku berjualan. Ya, di sini, di bawah pohon beringin ini, bersama aku dan bibiku. Seperti saat ini.
Sore itu terasa terasa dingin dan berangin. Aku segera menyiapkan teh hangat untuk Andi. meski aku tidak bisa melihat, aku bisa melakukan hal-hal ringan, karena kebiasaan. Kami ngobrol-ngobrol santai sembari menikmati hawa sore yang bersahabat.
“ Gimana kerjaan kamu, Di ?”, tanyaku, memulai pembicaraan.
“ Hfff,, ya lumayan capek aku, An”, balasnya, sembari menikmati teh hangatnya, “tapi aku punya kabar baik untuk kamu”, lanjutnya dengan nada girang.
“ kabar baik apa emangnya? Paling Cuma dapet doorprize ‘kan di pabrik? Hahaha”, tebakku, sambil tertawa.
Andi terasa membenarkan posisi duduknya, menghadapku. Sepertinya kami berdua berhadap-hadapan.
“Anne,,,”, tiba-tiba jantungku berdebar kencang.
“ Aku punya kabar yang benar-benar baik untuk kamu,” katanya serius, sambil memegang kedua tanganku. Aku semakin deg-deg an.
“ iya, apa sih? Jangan bikin penasaran dong”, balasku tak sabar.
“ Dengerin ya?”, aku menganggukkan kepalaku.
“ Semenjak kecelakaan yang kamu alami 4 tahun yang lalu, aku selalu memikirkan tentang penglihatanmu”, lanjutnya, dengan sedikit menghela nafas.
“ Semenjak itu pula aku mulai berniat mengumpulkan sebagian gajiku untuk...”
“ Untuk apa, And?”, tanyaku penasaran.
“ Untuk membiayai operasi mata kamu, Ne. Dan aku bersyukur sekali. Kurasa tabunganku telah cukup untuk biaya operasi.” Katanya dengan senyum terkembang kurasa, terdengar dari nada suaranya.
“ Kamu serius? Apa ini tidak memberatkan kamu? Mungkin uang itu bisa kamu gunakan untuk hal yang lebih penting.” Jawabku meyakinkannya.
“ Aku yakin, seyakin-yakinnya, An”
Ia memegang tanganku lebih erat lagi.
“ Aku yakin, karena kamu pantas mendapatkan itu. kamu gadis yang sangat baik. kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu pantas mendapatkan kembali penglihatanmu”, katanya dengan nada sangat yakin.
Sejenak aku terdiam. Tersenyum, tersenyum, dan semakin lama menjadi tangis. Aku bahagia. Sahabatku adalah seseorang yang sangat mengerti keadaanku. Aku sangat bahagia. Benar-benar bahagia.
“ O iya, besok aku akan langsung ke rumah sakit di kota, mencarikan kornea mata untukmu. Kamu di sini dulu, sampai aku memberi kabar ya?”, katanya dengan santai dan tenang.
Aku hanya mengangguk, dan segera mengucapan terima kasih yang bertubi-tubi untuknya. Hanya itu yang bisa kulakukan, ucapan terima kasih.
Waktu dengan cepat berganti. Pagi itu seperti mengilhami rencana Andi untuk mencarikan donor kornea untukku. Burung-burung berkicau seakan memberikan semangat. Saat itu juga Andi datang ke warungku untuk berpamitan.
“ An, aku berangkat dulu ya? Tadi aku sudah minta izin sama atasanku kok.” Katanya lembut, namun penuh semangat.
“ Iya. Kamu hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa. Semoga tujuan kita berjalan dengan lancar.”
“ amin.., oh iya, aku boleh nitip sesuatu nggak?”, katanya sambil meletakkan sesuatu di tanganku.
Cincin!
“ Ternyata perasaan ini benar. Aku mencintaimu, An. Aku ingin kamu menjadi istriku. Maukah kamu?”, ia mengatakannya dengan sangat bijaksana.
“ aku rasa...,”
“ aku ras kamu pikirkan dulu matang-matang deh,”, katanya menyela perkataanku.
“ Aku tunggu jawaban kamu sepulang dari rumah sakit nanti ya?”, lanjutnya, dan mulai melangkah meninggalkan warung.
Aku tersenyum sipu. Merasa dia belum begitu jauh, aku mengatakan sesuatu kepadanya.
“ Andi, Kamu adalah orang pertama yang akan aku lihat setelah operasi nanti!”. Kataku dengan setengah teriak.
Udara siang ini seperti tak bergerak. Stagnan. Hanya mentari yang sedari tadi memayungi bumi dengan panasnya. Dua hari yang lalu sahabatku berpamitan di sini. Kenapa dia belum juga menghubungiku? Udara semakin panas ketika aku memikirkan itu lebih dalam. Apakah dia baik-baik saja? dan seketika itu dering telepon membuyarkan lamunanku.
“ Halo?”
“ Halo, bisa bicara dengan saudari Anne Santikasari?”, tanya seseorang di seberang sana .
“ Iya, saya sendiri. Ada apa ya?”, tanyaku mulai penasaran.
“ Saya dokter di Rumah Sakit Harapan Kita, ingin menyampaikan sesuatu ke Mbak Anne. Donor kornea mata untuk Mbak sudah tersedia.”, kata dokter itu dengan nada bijaksana.
“ Yang benar, Dok?”
“ Iya. Mbak sesegera mungkin datang ke rumah sakit kami, dan menjalankan operasi”
“ Baik, Dok. Eh, tapi di mana Andi? Dia sahabat saya yang mencarikan donor mata untuk saya.”, tanyaku.
Sesaat hening.
“ Oh, Mas Andi tidak bisa pulang untuk saat ini, mbak. Lebih baik mbak segera datang ke sini.”, jawab dokter itu dengan nada yang tak berubah.
“ Baik, Dok. Terima kasih atas pemberitahuannya.”
“ Iya, sama-sama”
Tak menunggu lama, aku ditemani bibiku pergi ke Rumah sakit Harapan Kita sore itu. sesampainya di sana, aku masih tak menjumpai Andi. Andi di mana ya? Lamunanku segera dibuyarkan oeh tim dokter yang akan mengoperasi kornea mataku.
Operasi pencangkokan kornea mata berhasil dilakukan. Aku masih berbaring di tempat tidur pasien, dengan kedua mataku masih diperban. Sayup-sayup ku dengar langkah dari luar kamar, dan terasa semakin jelas. Dokter. Ia datang bersama suster akan melepas perban di mataku. Bibiku yang sedari tadi menungguiku dengan sabar memberikan semangat bagiku. Tak berapa lama, perban pun dibuka. Dokter mengatakan bahwa aku tidak boleh membuka mataku dengan paksa. Aku harus membukanya perlahan, agar kondisi mata mampu beradaptasi. Perkataan dokter aku turuti. Dengan perlahan aku membuka mataku. Sesaat aku nampak ragu. Namun, lama kelamaan butiran-butiran cahaya masuk ke dalam mataku. Butir-butir itu kian besar dan jelas. Aku mampu melihat dengan jelas. Wajah bibiku yang canti, wajah dokter dan suster yang bersih, dan semua yang ada di ruang pasien ini. Namun di mana Andi? bukankah dia yang membiayai operasiku? Bukankah dia yang seharusnya kulihat pertama kali? Ah, mungkin dia masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, batinku, namun tetap tidak tenang.
Dua hari beristirahat di rumah sakit benar-benar membuatku bosan. Berulang kali kutanyakan kepada dokter di mana Andi, namun jawabannya selalu sama. Dia sedang ada urusan lain. Kutanyakan lagi, namun bukan jawaban itu yang aku terima. Sepucuk surat.
“ Sudah saatnya kamu tahu”, sambil mengulurkan surat itu kepadaku.
“ Apa ini, Dok?” tanyaku
“ Baca saja. aku harus melakukan ini demi pasienku”, kata dokter dengan raut muka berbeda dari biasanya.
Aku semakin penasaran. Aku mulai membuka surat itu dan membacanya.
Saat kamu membaca surat ini, mungkin kamu sudah bisa melihat dunia. Pasti sangat menyenangkan, dan aku bahagia akan ha itu. Tuhan masih memberikan kesepatan untuk kamu bisa melihat. Aku sangat bersyukur. Untuk lamaranku tempo lalu, apapun jawaban kamu, aku akan menerimanya. Aku juga baru tahu, ternyata aku mencintaimu lebih dari yang kuduga.
Sahabatmu, Andi.
“ Apa maksudnya, Dok? Di mana Andi? kenapa dia menulis surat ini?”, mataku muai berkaca-kaca. Seperti ada firasat yang merasuk ke dalam batinku.
“ Begini,” dokter menghela nafas dalam-dalam.
“ Mata yang ada dalam diri Anda saat ini adalah kornea mata Andi,”
Seketika air mataku membasahi kelopak dan pipiku. Aku tahu, tentu saja tahu, kornea mata hanya bisa didonorkan oleh orang yang sudah meninggal. Aku semakin terisak.
“ Andi mengalami kecelakaan hebat di tengah perjalanan. Ia ditemukan oleh warga, dan segera dibawa ke rumah sakit ini.” Kata dokter dengan nada yang sangat tenang, berusaha menenangkanku.
Namun aku semakin terisak. Sahabatku pergi. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Bibiku menenangkanku, walau sebenarnya dia sendiri juga terkejut dengan hal ini.
“ Ia kritis. Namun ia sempat meminta bantuan saya untuk bisa menulis surat untuk Anda dan jika ia meninggal, kornea matanya akan diberikan kepada Anda. Mbak Anne, saya minta maaf. Tapi ini adalah wasiat dari pasien”.
Aku tak bisa berkata apapun. Sempat aku merasa menyesal, kenapa aku membiarkan Andi membantuku. Ia celaka gara-gara aku. Aku benar-benar terpukul akan berita ini. Namun, aku harus menghargai pengorbanannya. Aku harus merawat mata ini sebaik mungkin.
Jenazah Andi sesegera mungkin di bawa pulang dan disemayamkan di kampungnya. Saat aku menghadap jasadnya, aku berkata, bukan bergumam apalagi membatin,
“ Andi, aku sangat mencintaimu. Semoga Tuhan menjodohkan kita di surga”
Komentar
Posting Komentar